“sudah sejauh mana aku mengantar kedua orang tuaku ke pintu surga??? ataukah aku makin mendekatkan mereka ke pintu neraka???”

Di penghujung sepertiga malam,
Aku menangis tersedu di atas sajadah pemberian suamiku di hari pernikahan kami.

Alhamdulillah Ya Rabb,
Kau masih memberiku kesempatan untuk melembutkan hati dengan sungai kecil ini.

Sungai ini kembali mengalir,
Ah sudah lama sekali aku tak merasakan nikmat seperti ini, menangis di pangkuan kekasih yang Maha Mencintaiku, kekasih yang cinta-Nya sudah lama sekali ku duakan dengan cinta kepada suamiku, kutigakan dengan cinta kepada putriku, kubagi lagi dengan cinta kepada orang tuaku, adikku, keluargaku, kepada hartaku, kepada duniaku.

Oh Rabb, dalam hitunganku sendri, sudah menggunung tumpukan dosaku kepadaMu…
Entah bagaimana dengan catatanMu, sudah ribuan gunung kah tumpukan dosaku dalam Diary Mu, Ya Rabb 🙁

Aku kembali menangis…
Masihkah ada pengampunanMu untukku???
Masihkah aku pantas meraih HidayahMu???

Lalu pertanyaanku terhenti pada

“sudah sejauh mana aku mengantar kedua orang tuaku ke pintu surga??? ataukah aku makin mendekatkan mereka ke pintu neraka???”

Ketika ku ingat kembali wajah lelaki yang kini dibalut rambut putihnya, wajah yang penuh dengan kelelahan dan kesakitan sepanjang hidupnya.

Apa yang sudah aku lakukan untuknya???
Banggakah ia memiliki putri seperti aku???
Sudah sepanjang apa ku hulurkan kain penutup auratku untuk menolong Bapak serta suamiku???

Yah, bukankah jelas pada Al-Quran,
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Ahzab : 59)

Jika Bapak tidak mengerti tentang aurat, pakaian taqwa, dalil hijab, dsb…
Akankah aku membiarkannya begitu saja terjerumus dalam lembah neraka hanya karena pakaianku???

Bukankah dia menyekolahkanku agar aku lebih banyak tau, agar aku lebih pintar, agar aku mendapat informasi lebih banyak daripadanya?!
Lalu ku gunakan untuk apa semua jerih payahnya itu?

Apakah dengan menempuh sekolah bertahun-tahun, menamatkan pendidikan tinggi, rangking kelas berturut-turut, piala berderet yang pernah kuraih…
Apa dengan semua itu hanya bekal menuju DUNIAWI???
Meraih pekerjaan mapan, gaji selangit, punya rumah besar, mobil mewah, pakaian bermerk, dsb.

Jika memang ini persoalan duniawi,
Apa yang sudah aku persiapkan untuk dunia mereka??? untuk membalas jasa mereka???
Memberikan rumah impian? kendaraan? masa tua yang penuh kecukupan??? atau menghajikan mereka kah???

Jika aku belum mampu atau bahkan tak kan pernah mampu membahagiakan mereka dengan gelimang dunia,
terlebih jika kenyataannya mereka jauh lebih mampu meraih dunia dengan jerih payah sendiri, tak memerlukan bantuanku, menutup sebagian pintu untuk ladang amalku terhadap mereka di dunia ini.
Maka apa yang telah ku lakukan untuk menolong & membahagiakan mereka di akhirat kelak???

Jika aku tak mampu membahagiakan mereka di dunia & akhirat, maka pantaskah aku mengaku anak pada mereka???
Tidak malukah diri ini berharap mendapat sebutan ‘anak berbakti’?!

Seperti kata Ustadz Maulana dalam program TV nya pagi ini, “jangan pernah berpikir tentang 1000 kebaikan yang telah kita lakukan, tapi pikirkanlah 1 hal yang belum atau bahkan telah lalai kita lakukan!”

Sungguh aku tak pernah tau, sampai kapan Allah titipkan mereka dalam hidupku, sampai kapan aku bisa terus melihat senyum dan tawa mereka.

Ketika datang janji Allah nanti, sudah saatnya kita semua kan berpisah.
Sedih, sakit, getir, kehilangan…semua sudah pasti akan kita rasakan.

Tapi lebih getir ketika nanti Bapak dimintai pertanggungjawabannya…
Sudah sejauh mana ia mendidik putrinya…

Jika di catatan Allah, Bapak sudah mendidikku dengan sangat baik, sementara lakuku menyimpang dari apa yang ditanamkannya, dan lakuku membawa Bapak ke panasnya api neraka…
dengan apa aku harus menyesal nantinya, ketika semua sudah sangat terlambat…

Jika di catatan Allah, Bapak belum mendidikku dengan cukup baik, sehingga lakuku tak karuan dan mengakibatkan Bapak tercebur ke limbah neraka…
Maka siapa yang harus disalahkan???

Bukan, bukan Bapak yang salah, sungguh bukan Bapak…
Bukankah seperti kataku tadi, Bapak sudah memilihkan sekolah terbaik untukku, membekaliku dengan puluhan tahun bangku pendidikan…
Sesungguhnya tujuan semua itu bukanlah kepuasan duniawi semata…

Bapak berharap agar aku tau lebih banyak, agar aku mendapat informasi lebih banyak, agar aku jauh lebih pintar, agar aku mendapat Hidayah.
Yah, AGAR AKU MENDAPAT HIDAYAH.

Ketika aku tak jua mendapat Hidayah, atau Hidayah yang sudah ku dapatkan gagal ku pertahankan, dan ku biarkan luput dari genggaman.
Sungguh aku lah makhluk paling bersalah pada Bapak,
Aku lah anak paling tak berbudi dengan Bapak.

Bagaimana aku memperbaiki semua itu Ya Rabb…
Masihkah ada waktu menyelamatkan Bapak dari pintu neraka???

Aku selalu percaya, Janji Allah itu Nyata.
Membahagiakan, mengagumkan, menyenangkan, dan membuat rindu bagi yang benar-benar memenuhinya.
Memilukan, menyakitkan, dan teramat pedih bagi setiap yang mengingkarinya.

Dan seperti kata Almarhum Ustadz Jefri (Uje), “Hidayah itu datangnya berulang-ulang, berkali-kali…Hidayah itu datangnya dari Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya…Hidayah itu datang kepada Hamba yang sungguh-sungguh mencari & mengharap Hidayah-Nya”

Sedikit harapan ku kobarkan kembali dalam diri…
Ku tangisi kembali semua dosaku, berharap tangisku kian melembutkan hati.
Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “seringlah menangisi dosa, karena menangisi dosa dapat melunakkan hati yang keras, menghidupkan kembali hati yang mati”.

Sungguh, sebelum semua pintu tertutup, sebelum semua waktu terhenti, sebelum aku betul-betul terlambat nanti,
Aku ingin membahagiakan Bapak & Ibu..
Aku ingin mengantarkan mereka ke pintu surga dan membuat mereka tak terlihat oleh neraka.

Begitu pula dengan kedua pria lain yang kucintai, selain Bapak.
Ketika suamiku, pria yang ku cintai dengan seutuh nyawaku, kini telah menjadi seorang Bapak.
Ketika adikku, saudara semata wayangku, seseorang yang sungguh sejak dulu kehadirannya kuharapkan untuk menemaniku bermain mengisi hari, kelak pun ia akan menjadi seorang Bapak.

Semoga semua putri-putri mereka kelak mengecamkan ini dalam hatinya masing-masing:

Bapak, betapa cintaku kepadamu, tak kan pernah bernilai cinta, jika aku belum mampu menyelamatkanmu dari gerbang neraka dan mengantarmu ke pintu surga.

3 thoughts on ““sudah sejauh mana aku mengantar kedua orang tuaku ke pintu surga??? ataukah aku makin mendekatkan mereka ke pintu neraka???”

  1. Assalamua’alaikum mbak elda. lagi nyari buku birrul walidain nih, e ni blog malah muncul di google. yo wis ta mampir dulu. tulisan mbak bagus n sangat bermanfaat 🙂 aku pasang linknya di blogku ya 🙂 tks salam buat keluarga disana

    • ‘Alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakath…
      Tafadhol Ukhti, semoga bisa bermanfaat lebih banyak bagi semua ya 🙂

      Salam Kenal,
      nanti saya mampir juga ya ke blog nya 🙂

  2. Pingback: Ibu Yang Telah Tiada | Eomeoni...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *