Pada gala premiernya, dikatakan langsung oleh Hanung bahwa film ini adalah film besutan dari Hanung Bramantyo dimana para crew, pemain, dan lokasi yang terlibat di dalamnya 80% adalah produksi lokal Sumsel. Ditambah lagi pembuatan film ini sepenuhnya didanai oleh Pemprov Sumsel. Waw!
Pengejar Angin, sebuah film anak negeri dimana si tokoh utama adalah Dapunta (Qautsar Harta Yudana) yang memiliki semangat juang dan cita-cita tinggi untuk meneruskan pendidikannya demi sang Ibunda.
Namun apadaya, tingginya cita-cita tak selalu berbanding lurus dengan jalan yang mulus. Bapange (Ayahnya.red : Bahasa lahat. diperankan oleh Mathias Muchus) yang ternyata adalah pimpinan sindikat perampok kelas kakap, tidak mengizinkan sang anak mengejar impiannya lebih jauh, Bapange menginginkan agar si Anak malang ini meneruskan jejak kepemimpinan Bapange sebagai ketua rampok.
Beratnya perjuangan mempertahankan cita-cita terus menerpa hari-hari Dapunta. Mulai dari si Yusuf (Giorgino Abraham), anak pintar keturunan Camat yang sinis karna posisi ketua kelas dan rangking kelas yang baginya penting sekali ternyata berpindah tangan pada si Dapunta.
Lalu terungkapnya identitas Bapang Dapunta yang selama ini diakuinya sebagai petani, ternyata adalah seorang perampok besar yang tertangkap tangan oleh polisi ketika sedang merampok, ini membuat Dapunta harus menghadapi musuh-musuh lain di sekolahnya, juga sempat diberhentikan sebagai siswa.
Pergulatan batin antara impian yang masih membumbung tinggi dan kesempatan yang kian menipis bahkan hampir tak terlihat lagi, tentunya membuat sisi lain dari manusia sekuat apapun akhirnya goyah jua, begitupun dengan Dapunta.
Dengan menahan gejolak hati yang tengah remuk redam, Dapunta akhirnya betul-betul meneruskan jejak sang Ayah, sebelum akhirnya dia mendapat berita tentang ibunya yang pingsan dan dibawa Yusuf ke Rumah Sakit.
Di sinilah titik terang mulai terlihat, dimulainya persahabatan Dapunta dan Yusuf.
Juga kesempatan Dapunta mengejar impian perlahan mulai terbuka yang diawali dengan bertemunya Dapunta dengan Coach Ferdy (Agus Kuncoro) yang menemukan bakat alami seorang pelari di dalam diri Dapunta (Pengejar Angin).
Secara keseluruhan harus saya akui film ini sangat menghibur dan sangat recomended untuk ditonton.
Tapi namanya juga masih ciptaan manusia dan dinikmati oleh manusia juga, pastinya di sana-sini adaaaa aja yang bikin kita tidak hanya memuji tapi juga mengkritik *Sok yes* 😛
Saya pribadi punya kabar baik dan buruk nih soal film yang satu ini.
Baiklah kita mulai saja ya dari yang baik-baik dulu deh 😉
Kabar Baik :
- Alur cerita jelas dan terarah, karakter tiap pemain pas dan sesuai porsi masing-masing.
Meski banyak yang bilang ini film banyak diselipin unsur politik, terlebih setiap kali Bapak Alex Noerdin selaku gubernur Sumsel yang ikutan nongol di awal dan akhir film, tapi menurut saya sih oke-oke sajalah, porsinya tetep pas dan ga maksa 😉
- Pemilihan karakter harus diacungi empat (4) jempol.
Awalnya saya kira si Giorgino Abraham (pemeran Yusuf) yang bakal jadi Dapunta, secara dia paling tinggi, ganteng, dan putih (karna kan orang Lahat identik dengan kulit putihnya).
Ternyata si Qautsar lah yang memegang peran utama.
Gud job, karakternya memang sesuai banget untuk meranin tokoh Dapunta ini *applause*.
Warna kulit Qautsar yang walau agak gelap ditambah hidung mancungnya yang sungguh aduhai, terus terang menambah kekaguman saya pada sosok Dapunta di film ini 😉
- Untuk urusan akting, tak perlu diragukan lagi kemampuan para aktor & aktris senior ini : Mathias Muchus, Lukman Sardi, Agus Kuncoro, Leroy Osmani, Helmy Yahya, dan Wanda Hamida.
Untuk pemain baru, lagi-lagi empat (4) jempol saya berikan untuk Qausar Harta Yudana (pemeran Dapunta), aktingnya betul-betul total dan emosinya dapet.
Giorgino Abraham dan Martua Halasan (pemeran Husni)juga keren, mereka betul-betul berhasil menghidupkan karakter masing-masing dan mendukung karakter si Dapunta agar lebih menonjol.
Siti Helda Meilita (pemeran Nyimas) juga memiliki kontibusi besar di film ini. Hanya saja, sangat disayangkan ketika pada scene “menangis” terlihat betul kaku dan dibuat-buat aktingnya. Tapi ini termaafkan karna sewaktu ngobrol bareng Siti Helda di dalem mobil mb’Ira (ceritanya kita nebeng nih sampe parkiran bawah :P), beliau mengakui bahwa scene itu dibuat pada hari pertama dimana pertama kali pula berhadapan dengan kamera film dan untuk adegan itu saja dia sudah melakukan puluhan kali “take”. Oke, kita hargai usahanya 🙂
- 80% film mengambil setting di Sumsel, tepatnya di kota Lahat. Sebagai orang yang berdarah Lahat amat sangat kental (kebetulan saya dan suami sama-sama keturunan Lahat 100%, bukan campuran), saya sungguh kecewa dengan dialog demi dialog yang terjadi, pengecualian untuk Mas Mathias Muchus yang nyaris sempurna dalam berdialog Lahat.
Tadinya harapan saya akan banyak sekali Bahasa Lahat yang digunakan, lalu di layar dimunculkan translate teks dalam Bahasa Indonesia.
Okelah jika alasannya film ini dibuat untuk Nasional, sehingga dialog dengan bahasa Lahat dibuat seminim mungkin. Tapi toh tidak harus pula ikut-ikutan menghilangkan dialeg atau logat Lahatnya kan?!
Logat Lahat dan palembang itu jauh sekali perbedaannya, bung.
Dan film ini, jangankan untuk logat Lahat, logat Palembang pun hanya Mathias Muchus dan Martua Halasan (Husni) yang betul-betul menguasai logatnya.
Terus terang saya kecewa, bukan hanya karna saya terlalu mencintai daerah saya, tapi karena pernyataan di awal bahwa film ini 80% digarap oleh orang-orang lokal sendiri. Masa iya sih orang lokal ga fasih logat daerahnya sendiri?!
Terbukti melihat kenyataan bahwa ada film serupa, katakanlah “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”, bahkan artis yang bukan orang lokal pun mampu menguasai dialeg dan logat daerah setempat.
- Di Film, Lahat masih disebut sebagai Kabupaten. Kenyataannya, Lahat itu saat ini sudah berubah menjadi Kotamadya lho!
Moso Bapak Gubernur yang terhormat dan menantunya yang ikut main di film ini ga tau akan hal itu 🙁
- Istilah parang besar yang selalu dibawa oleh Bapange Dapunta itu adalah senjata khas orang Lahat, Bapak sayapun punya dengan sarungnya yang memang khas seperti itu, tapi istilahnya bukan “Parang” melainkan “Kuduk”.
Lalu penggunaan istilah “sentulup” untuk menyebut senter, harusnya menyebutnya dengan “Sintar” (pengucapannya : sintagh : dengan ‘R’ yang menyangkut di dalam tenggorkan)
- Nah point ini yang paling penting, tapi sudah dicontek oleh suami saya dalam review-nya sendiri 🙁
Untuk saya pribadi, film ini gagal mengantarkan penonton pada klimaks emosi. Seperti saat Dapunta diberhentikan dari sekolah karna bapaknya yang seorang perampok, itu keren banget waktu Dapunta hampir memukul Yusuf yang mengumpulkan tanda tangan para siswa, lalu Dapunta bilang “asal kau tau aku kerja keras seperti ini semua demi umakku. Mengapa semua salah di mate kau?!”
saya hampir menangis saat itu, tapi sayang scene langsung dipindahkan pada adegan lain. Menangispun batal 🙁
Lalu saat Dapunta mengalami pergolakan batin yang hebat, dia curhat pada ibunya, lagi-lagi saya hampir menangis saat itu, tapi lagi-lagipun itu hanya hampir. Perpindahan scene yang terlalu cepat membuat saya tetap tidak bisa menemukan puncak emosi saya sampai film berakhir.
Berbeda dengan film Mestakung tempo hari, yg walaupun terlalu banyak kekurangan, tapi pada adegan-adegan tertentu cukup sukses mengantarkan penontonnya pada puncak emosi.
Dan untuk hal inipun, film “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi” masih tetap jadi jawara di kacamata saya 🙂
- Pada bagian akhir, harapan saya ada sedikit yang berbeda secara dramatisasinya.
Ketika Dapunta ditemukan Pak Guru Damar tengah murung di ruang ganti, saya berharap dia terlalu memikirkan ibunya yang kenyataannya memang tengah sekarat dan sedikit membuyarkan konsentrasi perlombaannya sehingga dia tertinggal jauh *harapan saya loh ini*.
Dan (lagi-lagi) harapan saya, pada menit-menit akhir perlombaan, barulah muncul bayangan sosok Bapange di ujung lintasan sembari melambai dan menyemangati Dapunta untuk menjadi laki-laki sejati yang mengharumkan tanah kelahirannya (mengingat Bapange betul-betul mencintai Kota Lahat).
Nah saya berharapnya di sinilah ikatan kental antara Bapang ngan anak tekinak (Bapak dan anak terlihat.red), dan untuk pertama kalinya Dapunta menginginkan dirinya kuat dan hebat seperti yang selalu dicontohkan Bapange dalam kehidupan sehari-hari.
Dan Dapunta pun menyusul ketertinggalannya dengan berlari layaknya “Pengejar Angin” #halagh 😛
Dan keindahan pemandangan Kota Lahat betul-betul ditonjolkan di film ini, membuat saya selalu merindukan saat-saat indah kala mudik 🙂
100% saya rekomendasikan film ini untuk Anda sekalian 😉
saya sangat setuju dengan koment anda!
setuju disini maksud saya lebih kepada gaya bahasa yang anda tuturkan dan pemilihan kata yang simple. Dari komentar2 anda, saya yakin anda orang berpendidikan dan berwawasan luas. Saya bangga kepada semua orang Lahat yang berpotensi seperti anda :). Saya juga asli Lahat, dan sekarang lg kerja di Kal-Sel.
Saya belum sempat nonton filmnya. Tp pasti akan saya sempatkan untuk nonton.
Saya harap saat saya balik ke Lahat kelak.,saya bisa banyak bertemu dan bekerjasama dengan putra-putri Lahat lainnya untuk bersama-sama membangun Lahat yang jauh lebih baik.
ceritanya memang agak kurang klimaks ya, tapi untuk urusan akting dan dialog, bagus sekali :thumbsup:.. sedikit koreksi, saya juga orang Lahat, yang saya tau, Lahat masih menjadi kabupaten, bukan kotamadya 🙂 salam jeme kite gale. 🙂