Tak Selamanya Ingin Kita Menang

Ya, aku seorang CPNS kini, pekerjaan yang sempat aku impikan sejak kecil, namun sempat pula aku hindari selama beberapa tahun sejak bergelar istri & ibu.

image

pelantikan : Selasa, 14 April 2015, pkl.19.00 WIB.

Aku, seorang yg biasa-biasa saja, dari keluarga yg biasa-biasa pula (jika tak cukup buruk untuk dikatakan kurang).
Bapak hanya seorang PNS golongan rendah, Ibu hanya seorang pedagang kantin. Keduanya biasa saja, tanpa pendidikan tinggi, tanpa pergaulan luas. Mereka hanya bermimpi mengubah dunianya dengan tangan-tangan kami, kedua anak mereka.

Aku pernah sepakat dengan Bapak & Ibu, tentang pendidikanku, tentang pekerjaanku kelak, tentang adikku, dan semuanya, kami sudah bersepakat. Dan yang kami sepakati adalah (mungkin) layaknya keluarga pada umumnya, setelah tunai tugas kedua orang tua menyekolahkanku, gantian aku yg menyelesaikan tugasku untuk berjuang mendapatkan pekerjaan yg layak, patokan suksesnya adalah sampai aku mendapatkan NIP (Nomor Induk Pegawai bagi PNS). Bukan untuk mengganti uang mereka yg terkuras selama menghidupiku, namun untuk kebanggaan mereka, bukti bahwa mereka berhasil mengalahkan kejamnya dunia. Begitulah lebih kurang awalnya, dan aku sudah berjanji untuk memenuhi semua ingin mereka. Semuanya.

Hingga suatu hari, aku mengenal seorang laki-laki yang entah bagaimana seolah membuat duniaku berputar 180 derajat. Aku mulai berbalik arah. Melupakan semua janjiku. Mengubur semua mimpi orang tuaku dalam-dalam.

Ya, laki-laki itu adalah suamiku.
Sejujurnya, ia tak pernah melarangku bekerja, tak pernah pula memintaku berdiam diri di rumah saja.
Sejujurnya, ia tau aku adalah pribadi yg begitu ambisius, aku memiliki cita-cita menggunung, aku tak bisa dikekang & disuruh duduk manis di rumah saja.
Dan ia pun tau aku akan selalu senang mencoba hal-hal baru.

Lalu kami menikah, aku mendapat gelar baru sebagai istri, lalu menjadi ibu. Semua kesibukan baru, pelajaran baru, kehidupan baru, hal-hal baru yg belum pernah ku temui sebelumnya.
Antusiasme begitu besar menyambut hal-hal baru ini. Aku belajar caranya menjadi istri yg baik, menjadi ibu yg benar. Aku bersemangat belajar memasak, antusias memberikan ASI eksklusif, menyibukkan diri dalam seminar, pelatihan, dan setumpuk buku-buku tentang persiapan MPASI, tentang pparenting, juga ilmu tentang lika-liku kehidupan rumah tangga. Lalu kemudian menemukan visi baru tentang pengenalan aqidah kepada anak, bagaimana membawa rumah tangga menuju sakinah yg sebenarnya agar Ridha Allah didapat hingga berkekalan ke Jannah-Nya.

Ya, 3tahun sudah aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, dengan keluargaku, suamiku, anakku. Aku melupakan tangan-tangan yang mulai berangsur layu, yang dulu dengan sabarnya membimbingku berjalan, mengganti popokku tengah malam, menimangku di kala menangis.
Secara praktis mungkin aku tidak benar-benar melupakan. Nyatanya per 2-3hari sekali kami mampir kerumah mereka, bergantian antara sekojo & lakitan tempat mertuaku. Jika sedang ada rejeki lebih pun tidak jarang kami meninggalkan uang atau sekedar membelikan pakaian baru atau pula mengajak makan-makan bersama di luar.
Tadinya kupikir mereka tampaknya bahagia-bahagia saja. Nyatanya, setiap tahun hampir ratusan kali selalu ku dengar kalimat tanya, “ayuk tahun ini daftar CPNS dimano? Ado surat-surat yang perlu Bapak bantu urus dak?”p
Dan selama 3tahun ini pula pertanyaan itu berakhir dengan aku yg membuang muka, berpura-pura tidak mendengar, lalu semua hening, menelan ludah dengan perasaan masing-masing.
Aku benar-benar melupakan janjiku untuk membuat mereka bangga.

Tiga tahun sudah paradigmaku berubah. Aku merasa baik-baik saja dengan kehidupan ini. Aku bahagia dengan pencapaian kami yang Alhamdulillah secara materi semakin membaik dari tahun ke tahunnya, tanpa hutang membelit, tanpa perlu pusing cicilan ini-itu yg menunggu hingga berpuluh tahun kedepan, tanpa mengemis pada orang tua, dan meski tanpa meninggalkan rumah untuk bekerja, baik aku ataupun suami.
Meski ku lewati jalan ini dengan tidak mudah. Di awal dulu ada banyak yg mencibir keputusanku, mencibir pengakuanku tentang label “Bidan” di depan namaku, mencibir kehidupan tahun pertama pernikahan kami yg harus diakui memang sempat juga merasakan perjuangan tertatih & merangkak yang begitu dramatis.
Tapi aku tetap tak peduli. Keputusanku bulat sudah, meski tanpa diminta oleh suamiku, meski harus melihat pedihnya luka orang tua yg kurenggut paksa semua impiannya.

Tiga tahun lalu, ku katakan pada Ibu & Bapak bahwa aku tak berminat lagi menjadi PNS, menjadi Bidan praktek, menjadi wanita karir apapun. Aku hanya ingin pilihanku dihargai untuk terus belajar menjadi istri & ibu yang baik serta benar bagi rumah tangga yang sudah kubina ini.
Agak keras atau mungkin memang terlalu keras nadaku bicara saat itu, hingga membuat ibu tertunduk lesu, namun tak mengurungkan pertanyaan yg sama tentang harapannya terus terlontar juga sepanjang tiga tahun ini.

Pertengahan tahun 2014,
Teman-teman sebagian sudah mulai terlihat heboh dengan penerimaan CPNS tahun ini. Aku seperti biasa, masih santai dan bahagia di posisiku seperti sebelumnya. Kemudian pertanyaan itu berulang lagi, kali ini dengan sedikit penambahan, “Ayuk daftar tes CPNS dimano tahun ini?  Kalo ayuk masih belum pengen melok, tolong carike lowongan untuk adek, biso dak ngelamar CPNS pake ijazah SMA?”
Sedikit bergetar. Antara sedih, malu, sekaligus kesal. Impian mereka kini akan dijejalkannya pula kepada adikku. Ah, tapi tak mengapalah, toh adikku itu 100% penurut sama Ibu, 100% cerminan anak berbakti.

Aku daftarkan adikku tes online di kejaksaan saat itu, selebihnya dia ngurus sendiri, aku cuma bantu daftarin online saja. Kebetulan ada lowongan untuk lulusan SMA di kejaksaan sebagai pengawal tahanan kalau tidak salah. Membutuhkan laki-laki yang punya keahlian & sertifikat beladiri. Nah kebetulan sekali adikku memang atlet pencak silat, dan sertifikat karate (sebelum ke pencaksilat) juga sudah sampai jenjang ban hitam-Dan I.
Sambil mendaftarkan adikku, tak urung aku buka-buka juga lowongan untuk Bidan Pelaksana di beberapa provinsi, dan tak satupun menarik minatku saat itu.

Adikku sudah menerima surat balasan beserta nomor tesnya, tapi waktu & tempat pelaksanaan tes akan diumumkan via website.
Sambil cek setiap hari jadwal tes adikku, aku melihat ada sebuah provinsi baru di SumSel bernama Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), membuka peluang untuk bidan pelaksana sebanyak 30orang. Total pelamar saat itu sudah mencapai 12.000orang lebih kalau tidak salah.
Iseng, benar-benar modal iseng, aku klik juga form pendaftaran dan mulai memasukkan namaku. Manjang-manjangin antrian deh biar tambah seru, pikirku saat itu.

Hampir sebulan, surat balasan belum juga ku terima, ku pikir tidak lulus seleksi administrasi. Sementara adikku ga jadi ikut tes karena lupa ngecek website dan ternyata tes sudah lewat 4 hari saat kami cek lagi.

Aku mulai merasa bersalah pada ibu, gara-gara aku telat ngecek, adek gagal ikut tes, padahal peluangnya lumayan besar. Terbersit andaikan nanti aku lulus seleksi administrasi, biarlah aku yang akan berjuang maksimal menghadirkan SK PNS itu di rumah ini, sebagai kebanggaan bagi mereka.

Lalu,
Surat balasan benar-benar aku terima beserta nomor ujian. Tempat & waktu pun akan diumumkan kemudian di website.
Aku mulai galau dan plin-plan. Antara maju atau mundur. Antara niat berusaha atau pasrah.
Aku mulai bernegosiasi dengan ibu, “andaikan tes ini harus pergi ke Kabupaten PALI, ayuk ga ikut, ga ada ongkos (krn memang lagi fokus renov rumah), ga bisa ninggalin Dynda, ga punya kenalan disana, mau nginep dimana, bla bla ble ble….”

Lalu jadwal tes pun keluar. Entah ini rencana Allah memudahkan atau doa ibu dioabulkan. Tes dilaksanakan di kantor BKN, Jakabaring, Palembang, 15 Desember 2014, pukul 07.00-09.00 WIB.

Dua minggu menjelang tes sampai tanggal 14 Desember malam, lagi-lagi aku galau. Gimana ini. Sudah sampai disini aku harus berbuat apa. Kalo ga lulus, ga mungkin sanggup melihat linangan air mata ibu. Kalo lulus??? Oh NOOOOO !!!!

15 Desember 2014, pukul 02.00 WIB. dini hari,
Insomnia tiba-tiba melanda. Mata ini sepertinya memang tidak mau terpejam sepanjang malam ini. Aku memutuskan untuk googling saja, mencari contoh soal tes CPNS dengan sistem CAT tahun 2014. Aku termasuk yang bisa diandalkan dalam soal matematika, tapi payah untuk soal kewarganegaraan, pasal2, UU. Jadi kuputuskan untuk memperbanyak membaca referensi soal di bidang yang aku lemah. Ya, kewarganegaraan.

15 Des 2014, pukul 06.30 WIB.
Suami mengantar & menungguiku tes sampai selesai. Dynda dititip di rumah ibu krn memang semalam pun menginap di sana.
Jika ada 1orang yang bisa menghilangkan galauku saat itu, maka itu hanya suamiku, hanya dia.
Digenggamnya tanganku yang dingin, entah krn udara pagi atau krn gugupku. Dikatakannya dengan tenang 3 buah kata sakti ini, “BERUSAHALAH DENGAN MAKSIMAL”.
Mendadak aku seperti memiliki kekuatan penuh, begitu teryakinkan dan aku tau harus berbuat apa selanjutnya. Galauku hilang. Aku tidak lagi memikirkan bagaimana persaan ibu kalau tidak lulus, atau bagaimana nantinya kalau aku lulus. Semua kusingkirkan dulu. Dan aku mulai memasuki ruangan tes dengan sangaaaaatttt tenang.

image

nilai ujian tes CPNS-ku kemarin

Aku begitu percaya diri mengerjakan semua soal. Tes kewarganegaraan pun bukan lagi musuh utama bagiku. Sebagian pelajaran di pengajian hizbut tahrir menambah tsaqafah ku ttg urusan politik. Sebagian lagi referensi soal yang ku pelajari semalam ternyata cukup membantu.

Hasil sudah didapat (bisa dilihat di gambar terlampir). Suamiku sudah lebih dulu tau krn mengamati langsung di layar komputer di lantai bawah (ruang tunggu).
Kami segera menelpon ibu, ibuku menangis setengah berteriak, ” ayuk jangan bohongi ibu yuk. Tega nian ayuk kalo ngomong ini cuma buat nyenengin ibu sebentar be.”
Aku menangis, tak sabar ingin pulang & memeluk ibu erat.

Ibu & Bapak memelukku begitu erat. Air mata bahagia terus mengalir dari mereka. Bukan pertanda kepedean aku bakal melenggang santai mengalahkan 3.000 pesaing bidan lainnya. Namun pertanda terimakasih pada Allah yang telah melembutkan hatiku. Nilai itu membuktikan usahaku. Masalah hasil akhir itu urusan ke sekian bagi mereka saat itu.

Selesai meraih nilai tertinggi di sesi ku, kembali membuatku galau. Aku sempat berpikir jika nanti benar-benar lulus, aku akan mengundurkan diri saja. Aku tidak siap menjadi wanita karir. Aku tidak siap membagi perhatianku pada Dynda & Abinya dengan pekerjaanku nanti. Walau sejujurnya, ada setitik rasa rindu dengan seragam itu, putih-putih yang di tengah masyarakatpun seakan begitu dihormati. Namun aku ingin begini saja ah, dengan daster kumal & bau masakan setiap hari. Aku sudah cukup bahagia.

Ibuku begitu marah mengetahui ide pengunduran diriku. Satu rentetan kalimat keluar dari mulutnya. Tak perlu kujabarkan rinci di sini. Yang pasti kalimat itu sukses membuatku terdiam panjang. Membuat aku & ibuku tidak bertegur sapa selama 1 minggu, larut dalam pikiran & ego masing-masing, hingga hari pengumuman itu tiba.

22 Januari 2015.

image

Pengumuman akhir

Akhirnya aku benar-benar dinyatakan lulus pada urutan ke-15 dari 30orang yang lulus formasi Bidan Pelaksana, dengan total peserta tes CPNS 2014 kab.PALI formasi umum +/- 21.000 peserta, +/- 3.000 di antaranya adalah Bidan pelaksana. Jadi kesempatan lulus 30/3000, hanya 1% saja.

Suamiku memelukku sesaat setelah kami melihat pengumumannya di website, lalu segera kami menelpon ibu & datang kerumahnya.
Ibu, Bapak, bahkan adikku, semua menangis haru. Ku cium kaki ibuku, tanda permintaan maafku tak menegurnya seminggu ini. Dipeluknya aku erat sambil berkali-kali bertanya, “beneran nian dak yuk?”
Kami masing-masing tak ada yang mampu berkata-kata lagi, semua menangis haru. Inilah impian mereka. Inilah ingin mereka. Bagaimana aku bisa tidak menangis melihat orang tuaku tersedu sesak karena bahagia.

Mama & ayah mertuaku kuberi tahu malamnya, saat acara ‘nigo ari’ uwak, mama langsung menjerit bahagia, memelukku erat & menghujaniku dg ciuman di pipi, begitu juga dg ayuk iparku yg sulung, sementara ayah langsung memberikan petuah nasehat untuk bekerja dg rajin. Sepanjang acara malam itu, aku & suami tak putus mendengar mama, ayah, & ayuk bercerita serta membanggakan kelulusanku pada sanak keluarga yg lain. Mama & ayah turut pula mengantarku di semua proses, pemberkasan awal, pelantikan, laporan ke unit kerja, hingga pindahan.

Alhamdulillah banyak pihak yg menyambut hangat dan memberi dukungan. Membuat semua galauku terbang entah kemana. Menyisakan keyakinan bahwa aku pasti bisa.

Terimakasih juga untuk semua yang sudah kuhujani dengan curhatan galauku, terimakasih krn sudah setia menampung unek-unek, dan memberi dukungan moril yang begitu berarti. Mbak kesayanganku selalu (mbak Lies), musrifahku (Teh Ela & mbak Iffah), teman-teman kelompok halqah (Bu Ros, mbak Liza, mbak Ai), Mi’un besty yg sudah duluan PNS (Januria), teman se-asrama sekaligus sepengajian (Tante Reni Triyana), teman kamar bougenville yg lulus bareng di kabupaten berbeda (Dian Oktaria), Besty temen sebangku kelas 3 SMA (Dewi Fajrianti), dan yang selalu support whenever, whatever, or whoever i am (si item memed Dhita).

Kini aku yakin dg langkahku. Allah yang Maha Baik juga memudahkan segalanya. Penempatan di RSUD (pusat kota kab.PALI). Bertugas di ruang operasi (Oka) yang ruangnya paling bersih, steril, fasilitas lengkap, kerjanya paling santai tapi remun paling gede setelah IGD, wkwkwk…
Lingkungan tempat tinggal yg aman & strategis, dekat dari RS, dekat dg pasar & indomaret. Tetangga yang luar biasa baik & ramah (ditinggal ke Palembang aja kunci rumah & kunci motor nitip aja ke tetangga, pulang2 teras rumah & motor udah pada kinclong) 😀

Yang paling penting dari semua ini adalah Ibu-Bapakku.
Sungguh bukan salah mereka yang berpendidikan rendah hingga mengukur kesuksesan dg menjadikan anak seorang PNS.
Sungguh bukan salah mereka yang tak berwawasan luas hingga mengira IRT itu adalah profesi paling memalukan bagi orang tua yang sudah susah payah menyekolahkan anaknya ini.
Sungguh bukan salah mereka yang selalu tersinggung dengan cibiran tetangga, “mending ga usah capek2 buang duit dikuliahin deh kalo ujungnya balik-balik dapur sumur kasur juga”.
Sungguh aku tak mungkin menyalahkan mereka yang masih kuno, terbelakang, atau apapun kekurangan mereka.

Tak selamanya ingin kita menang,
Aku mungkin bisa saja mempertahankan egoku, menjunjung inginku. Namun sebagai anak, terlebih sulung, sudah sepantasnya aku yang mengangkat derajat mereka, sudah sepantasnya aku yang membuat mereka bangga, sudah sepantasnya aku melindungi harga diri mereka, sudah sepantasnya aku menjadi teladan bagi adik laki-lakiku yang kelak akan berjuang pula di dunia yang kejam ini demi menafkahi anak-istri.

Ku ingat kembali rentetan kalimat ibu tempo hari yang sempat membuatku terdiam, membuat aku sempat tidak terima, kenapa harus dengan jalan ini?!!
Namun sekarang kalimat itu pula yang membuatku terus tersenyum. Aku bahagia dengan pilihan ini. Aku berbahagia dengan pilihan ibu.
Alhamdulillah Ya Allah…11 tahun sudah aku menunggu ibu, dan dengan jalan ini akhirnya ibu terketuk untuk memakai pakaian syar’i.
Mohon jagakan iman ibuku, Duhai Rabb.
Istiqamahkan ia dengan pakaian taqwanya.
Dan bukakanlah hatinya lebih lapang lagi untuk menerima Islam-MU secara kaffaah.
Aamiin…Allahumma Aamiin…

This is for you, Ibu-Bapak.
Ridhai ayuk selalu.

image

ibu (kerudung merah) dengan pakaian syari

Fyi, sebelumnya ibuku sehari-harinya ga pake kerudung. Sekarang Alhamdulillah kalo ada laki-laki lain bertamu langsung cepet nutup auratnya.
Dulu paling ‘anti’ pake kerudung di bawah dada. kalo pake kerudung dililit2 sampe bikin sesek. Sekarang lihat deh kerudungnya. Cantik ya 😉

One thought on “Tak Selamanya Ingin Kita Menang

  1. Super mbak.. inspirasi banget.. touching heart… memang terkadang susah mengubah pola pikir orang tua lama.. apalagi pada umumnya orang-orang daerah atau bahkan seluruh indonesia menilai seseorang sukses hanya diukur jika seseorang itu lulus PNS.. hal tersebut udah menjadi mindset.. padahal banyak cara menuju sukses.. overall.. Allah SWT tau segalanya dan selalu membimbing umatnya, manusia boleh berencana dan menginginkan sesuatu yg terkadang itu hanya sebuah keiingin, sedangkan Allah SWT maha mengetahui mana yang terbaik bagi umatnya.. semua indah pada waktunya.. aseeek

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *