Bidan Oh Bidan

Hari ini cukup shock setelah membuka mata lebih lebar dan melihat langsung betapa dunia pendidikan sudah jauh lebih lunak terhadap tempaannya.

Saya dan suami lagi makan siang di sebuah tempat bakso favorit yang kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari sebuah rumah sakit negeri terbesar di provinsi ini.

Pertengahan makan, saya melihat 4 orang berusia tanggung (remaja lewat, dewasa belum) mengambil tempat duduk tak jauh dari kami. Keempatnya berseragam putih list biru dengan celana biru.

Tiga orang diantaranya memakai jilbab, dan satu masih menggunakan kap (aksesoris atas kepala untuk suster/perawat/bidan magang).
Melihat mereka saja saya sudah bisa menebak mereka Mahasiswa yang baru pulang dinas (sebutan untuk mengatakan “sedang magang atau bertugas jaga di Rumah Sakit atau klinik”)

Sedikit tapi cukup jelas saya mendengar percakapan mereka tentang perubahan SIB (surat Izin Bidan) menjadi STR (Surat Tanda Registrasi), berita ini sudah berapa minggu simpang siur di tengah tenaga kesehatan, cukup membingungkan dan cukup membuat kami yang telah lama lulus ini penasaran, termasuk saya tentunya.

Maka, saat suami saya ke toilet, saya berinisiatif memanggil mereka dengan maksud menanyakan kejelasan informasi seputar STR tadi.
Yah, siapa tau saja mereka lebih up to date ketimbang kami yang sudah tua ini *ihik*

Sayapun memanggil mereka dengan logat dan kebiasaan kami dipanggil senior/dosen kami dulu atau kami memanggil junior kami, pastinya dengan mengawali menyebut “adek”, yang ngaku pernah jadi anak asrama bidan pasti tau deh 😉

Satu dari mereka pun menghampiri saya, dan tanpa babibu langsung duduk di kursi tempat suami saya duduk sebelumnya.
Saya sempat senyum-senyum sendiri, mengingat kala dulu saya memakai seragam seperti mereka, tak berani dan tak akan pernah berani duduk di samping senior (meski berbeda almamater dengan kami) sesantai itu, belum ditawari pulak.
Ya sutralah, mungkin dia ga tau saya bidan juga.
Atau cara saya manggil dan ngobrol dengannya juga beda kali sama senior atau dosen mereka 😛

Keluar dari toilet, suami saya bingung mau duduk dimana, dan adik manis ini masih duduk dengan santainya, tidak memperlihatkan sikap sungkan sedikitpun, hehe…hingga akhirnya suami saya yang mengambil inisiatif untuk menyingkir dan mencari kursi lain.
Maklum sajalah, saya pikir juga mungkin kecapek’an banget karena kan ngakunya pulang dines dari RS, jadi ga punya tenaga lagi untuk bangun kali ya, mengingat saya tau persis gimana remuknya badan sepulang dari dines.

Bye The way, adik ini gaul sekaliiiii, saya perhatikan kelopak matanya biru kehitaman dan ada bling-blingnya gitu.
Saya mulai berpikir jangan-jangan mereka sempet tonjokan-tonjokan gegara rebutan pasien nih di RS tadi, mengingat kami dulu juga bisa musuhan sama temen sendiri karena rebutan nyuntik atau infus pasien doang.

Bibir adik ini juga warnanya agak coklat basah dan berminyak gitu.
Ya, lagi-lagi berpikirlah positif…Mungkin dia kelaparan sangat setelah menolong beberapa pasien, jadi sebelum singgah di tempat ini, terlebih dahulu dia mengganjal perutnya dengan gorengan, dan sisa minyaknya mungkin masih menempel di bibir adik manis ini 😉

Saya masih ingin berpikir positif ketika melihat dua buah anting yg sama di telinga kirinya yang menghadap ke arah saya.
Walaupun dulu, kami (berjilbab ataupun tidak) diharamkan memakai perhiasan apapun selama tiga tahun masa pendidikan, itu dimaksudkan agar bidan itu selalu tampil sederhana, terlebih di hadapan pasiennya.

Yah, mungkin perbedaan jaman barangkali, jadi sekarang gapapa pake anting dobel sekalipun.
Karena telinga satunya tak bisa saya lihat, maka saya segera berpikir mungkin telinga satunya buntu lubang antingnya, jadi daripada dia pakai satu anting terus pasangannya ilang karena lupa nyimpen, ya mending dipake aja sekalian dua di satu kuping…Gitu kali maksudnya ya 😀

Tapi sungguh, saya benar-benar tak lagi bisa berpikir positif ketika dia mulai berdiri hendak meninggalkan meja saya, saya melihat sebuah kancing di bagian perutnya yang nyaris terlepas, entah mungkin itu baju seragamnya tiga tahun lalu yang masih nge-cling sampe sekarang, atau ia sengaja membuat seragam baru dengan ukuran adiknya yang masih SD.
Setau saya, baju dines itu longgar aja kadang bikin ga nyaman ketika menghadapi perasat yang butuh kecepatan, dan ketepatan gerak, apalagi kalo sempit gitu, apa ga sesak ya?! (-_-“)

Belum lagi saya melihat potongan “kacamata” berwarna gelap (tidak begitu jelas merah hati atau hitam), dibalik baju putihnya, tanpa kaos dalam (singlet) pulak…WOW!
Kembali saya mengingat kejadian 6 tahun silam, saat pertama kali kami masuk asrama, semua pakaian dalam diharuskan berwarna putih polos, ini dimaksudkan agar apa yang seharusnya tersimpan di dalam biarlah tetap di dalam, agar tak ada warna-warna meriah yang memaksa keluar dari seragam putih yang seharusnya melambangkan kesucian si pemakainya.

Saat berbicara tadi, saya tidak melihat name text di dadanya, mungkin sudah dicopot saya pikir.
Tp saya masih melihat pin yang tersemat di kerah bajunya, hanya saja saya tidak mengenali almamater mana yang memiliki pin dengan logo dan warna seperti itu.
Yang jelas itu bukan pin Poltekkes Depkes yang meluluskan saya sebagai Bidan, jelas bukaaaaaannnnn (/_\)
Karena Depkes meski sekarang berubah nama menjadi Kemenkes, tapi logonya belum berubah, dan semua orang mengenal logo depkes itu.
Ditambah lagi, pin adik manis itu berwarna PINK…hoalaaaahhhh, setau saya banyak memang akbid swasta yang menjamur di kota ini, tapi baru ini saya lihat pin warna pink, bukankah setau saya semua almamater bidan itu warnanya biru?!

But, tidak penting soal pin adik manis itu.
Saya hanya segera berpikir keras, apakah seperti ini gambaran tenaga kesehatan, khususnya bidan di masa mendatang?

Mungkinkah pengetahuan mereka soal kehamilan dan persalinan sebanding dengan luasnya pengetahuan mereka soal fashion dan make-up?
Mungkinkah kualitas skill tangan mereka saat menolong partus setangkas saat mereka memoles wajahnya?

Hehhhhhh *hela nafas panjang*
Saya hanya bisa berharap “tak ada yang tak mungkin di dunia ini”.
Jika memang semua kualitas bisa terpenuhi, maka tak ada salahnya memang menjadi bidan ataupun tenaga kesehatan yang menarik secara tekstur penampilan, tapi juga sangat qualified menolong pasien sesuai ilmunya, semoga 🙂

2 thoughts on “Bidan Oh Bidan

  1. oohh aq baru tau kalo sebutan bidan/perawat itu bukan profesi pekerjaan tp suatu gelar pendidikan,brrti dewi kalo lulus kagek sudah positif di sebut guru kalo ck itu hehehe :p

    • Lah siapo bilang itu gelar pendidikan??? Gelarku Am.Keb koq. . .Bidan itu ya Profesinya 😉

      Gini Om, Kalo dokter/bidan/perawat atau profesi tenaga kesehatan lainnya, gelarnya didapat ketika mereka mulai mengucap “Sumpah Jabatan”.
      Dan saat tenaga kesehatan berhadapan dg pasien, kan biasanya langsung menyebut profesi (bu “dokter” / bu “bidan” atau juga “Bidan Elda”), kalo seperti guru biasanya kan dipanggil Bu Dewi, jarang kan yang manggil Bu “guru” Dewi (kecuali anak SD mungkin) 😛
      Selain itu, dokter/bidan/perawat ataupun nakes lainnya, punya surat izin keprofesian masing2, seperti diriku yang juga punya “Surat Izin Bidan (SIB)”.
      SIB ini tidak sama dengan surat tanda lulus kuliah biasa (Ijazah). Karena SIB ini didapat setelah lulus kuliah, tentunyapun setelah melewati serangkaian uji tulis dan praktek.
      Itu sebabnya kenapa semua tenaga kesehatan, baik itu dokter/bidan/perawat tetap menyandang gelar mereka sekalipun tidak terlibat langsung dg pasien.
      contoh : Dosen kami ada yang spesialis anak, tapi dia tidak bekerja di rumah sakit, pun tidak buka praktek, pekerjaannya adalah DOSEN/pengajar, tapi di depan namanya tetap dipanggil “dokter”.

      Itulah pembeda profesi kami dg profesi lainnya. Karena profesi kami bisa freelance, kapan saja & dimana saja.
      Simpelnya gini deh, kalo saat ini diriku datang ke klinik dokter atau RS, lalu karena satu dan lain hal, tiba-tiba saja daku menolong sebuah persalinan normal sesuai etika profesi yg ku miliki, siapa yang akan menuntut??? Selama aku punya SIB yang sah & masih berlaku, maka dari 24 jam sepanjang hidupku tetap disebut sebagai BIDAN yang tetap berhak & berkewajiban melakukan perasat bidan.
      Karena dokter/bidan/perawat bukanlah pekerjaan, tapi Profesi! 😀

      *Nah, kurang tau kalo di pendidikan lain cakmano, apakah musti kerja dulu baru dapetin profesinya, atau samo jugo cak kami…don’t know 😉

Leave a Reply to elda Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *