Awalnya aku tak pernah menyadari bahwa hidupku sudah sedemikian indahnya.
Meski menurutku ini belum cukup sempurna untuk semua impian-impian kami yang masih mengambang, namun bagi sebagian orang yang hanya dapat mengintip di luar sana, hidup yang ku punya sudah terasa amat menggerahkan bagi orang-orang berhati dengki.
Tanpa bermaksud untuk berkata kasar dan buruk, aku memilah-milih adakah kalimat yang lebih halus untuk menggambarkan seorang yang dengan tanpa hentinya, tanpa lelahnya, dan tanpa diketahui alasannya terus saja berkata buruk dan menghinakan keadaan orang lain seakan dia telah menggenggam dunia.
Aku tak pernah mengusikmu sebelumnya, sedikitpun tak pernah.
Yah, bagaimana mungkin aku mampu mengusikmu sementara kamu adalah istri dari teman baik suamiku (meskipun hampir seluruh teman-teman mereka ogah disebut sebagai teman suamimu).
Dan bagaimana mungkin aku mampu mengusikmu sementara berteman saja kita TIDAK.
Tiga tahun lamanya, aku mengubur semua kalimatmu, tudinganmu, hinaanmu, melupakannya seakan tak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Aku tersenyum ketika kau tersenyum, aku tulus berbahagia di hari bahagiamu, aku tulus mengucap selamat ketika putramu lahir.
Namun, sungguh aku tak pernah tau, jika ternyata senyum dan tutur manis yang kau tampakkan di muka, hanya untuk menutupi betapa kau terluka melihat kebahagiaanku, betapa hatimu teriris melihat sedemikian tulusnya aku memberi maaf sementara kau tak pernah sungguh-sungguh menyesali perbuatanmu, dulu sekali.
Ingin aku teriakan di muka cantikmu yang menyimpan duri itu,
Demi Tuhan aku tak pernah menginginkan kehidupan seperti siapapun juga.
Semua orang pun pasti tau itu, jika mereka mampu berpikir jernih.
Jika kau menuding aku menginginkan kehidupan sepertimu, maka inilah jawabannya.
Bagaimana mungkin aku mau menukar pijatan lembut suamiku setiap hari dengan tumpukan kertas-kertas kerja seperti suamimu.
Bagaimana mungkin aku mau menukar kemesraan anakku & ayahnya setiap hari dengan diskusi tanpa henti antara suamiku & para mahasiswinya nan cantik molek seperti yang (mungkin saja) menjadi rutinitas suamimu.
Bagaimana mungkin aku mau menukar cinta & waktu suamiku setiap hari dengan segenggam berlian seperti yang selalu kau elu-elukan terhadap suamimu.
Jika hanya harta yang kau banggakan untuk dapat menghina kami, maka suatu saat kalian akan menangis begitu perihnya karena harta pula lah yang akan menghinakan kalian, sedemikian rendahnya.
Tanpa bermaksud untuk angkuh atau bersombong diri, aku ingin mengingatkanmu kembali tentang kalimatmu padaku, juga beberapa status facebook mu yang mengisahkan keadaanmu yang tidak lebih baik dari kehidupanku.
- Kalian mengharapkan foto preweding outdoor namun dengan budget terbatas, untuk itulah kalian mengikuti jejak kami dengan meminta sahabat suami untuk menjadi fotografernya, namun permintaan kalian ditolak mentah-mentah dengan alasan “sibuk”…
Taukah kalian alasan yang sesungguhnya??? Beliau menolak karena sudah terlalu muak dengan sifat suamimu yang istilahnya seperti getah basah (takut rugi sendiri, tapi selalu merugikan orang lain).
dan kamu malah menudingku mengikuti kalian? ah yang benar saja, kami foto bulan februari 2011, sementara kalian menelponku pada Maret 2011 koq, ingat??? - Dirimu pernah menulis status yang menyatakan keinginanmu untuk bisa hidup mandiri dan tinggal misah dari orang tua dan mertua.
Sayangnya kau mendapatkan suami yang sama sekali tak mendukung keinginanmu, karena suamimu berharap rumah warisan ortunya sekarang akan jatuh ke tangannya jika kalian tetap tinggal di sana.
Hingga suatu hari di bulan pertama pernikahan kalian, kamu menulis status yang berisi keinginanmu untuk memberi mertuamu racun tikus, Na’udzubillahimindzalik. - Keinginanmu memperoleh seorang anak perempuan sebagai anak pertama, juga cita-citamu mendandani putri pertamamu sedemikian cantiknya.
Sayangnya, Allah justru memberimu seorang putra, dan berkali-kali kau meneluarkan kalimat “seandainya anakku perempuan”.
Sesungguhnya Allah membenci makhluk-Nya yang suka berandai-andai atas takdir yang telah terjadi.
Bukankah pada dasarnya laki-laki ataupun perempuan sama saja, mereka tetap buah hati & cinta yang harus dirawat & dididik sebaik mungkin. - Keluhanmu tentang betapa letihnya merawat anak sendirian, tanpa bantuan suami, ditambah dengan beban mental yang masih harus menjaga sikap di rumah mertua.
Dan masih banyak lagi kalimatmu yang memperlihatkan betapa hidupmu sungguh tersiksa.
Bukankah sebelumnya kami tak pernah memberi komentar apapun terhadap kehidupanmu?
Kamu selalu menuding kami sombong dan tinggi hati, lupakah kalian bahwa sebelumnya kalian pernah tertawa puas karena kami selalu merendah, dan kalian semakin merajalela menghina kami.
Hingga suatu hari, kalian membuka mata dan tersadar bahwa sikap rendah hati kami tak sepenuhnya menunjukkan kerendahan kami yang sesungguhnya.
Kami memperhatikan betul kapan saat dirimu mulai meradang emosi, menunjukkan kebencian kalian pada kemampuan kami, dan memperlihatkan betapa seluruh hatimu diliputi dengki yang membara.
Semua bermula ketika sebelumnya kalian mengira kami betul2 miskin, sehingga Dynda belum cukur rambut karena tak punya uang untuk membeli pisau cukur.
Disini kami mulai menyadari sikap tak baik dari kalian.
*maaf jika ternyata kalian telah memendamnya lama tapi kami baru menyadarinya saat itu.
Kalian sudah tertawa-tawa dengan senangnya mendengar pengakuan suamiku itu, mendengar kami harus angkat kaki dari kontrakan karena sudah tak memiliki budget untuk mengontrak lagi.
Namun, begitu kamu melihat bahwa kami hanya mengolok-olok kedengkian kalian, kamu tiba-tiba menjadi sedemikian emosinya.
Ketika kamu kira kami tak punya uang untuk makan, tapi kami justru malah membelikan Dynda sebuah cincin.
Detik itu juga kamu langsung mengumpat membabi buta di statusmu.
Coba bayangkan, dengan hal sekecil itu saja kamu sudah sedemikian marahnya, emosi, tidak senang, dengki, mengumpat, memaki, dll.
Bagaimana jika suatu saat kamu melihat hal-hal lain yang lebih besar yang mampu kami dapat???
Sebetulnya, kami tak pernah berniat mengusik siapapun. Tapi harus disadari juga bahwa kami hanya manusia biasa, punya batas kesabaran diri.
Tadinya kami mengira setelah suamiku memberi tahu suamimu tentang polamu, kamu akan patuh dan berhenti memaki.
Tapi entah apa yang dikatakan suamimu, apa beliau pun sama sepertimu yang juga mendengki terhadap kami, atau beliau memanfaatkan situasi ini untuk menarikmu keluar dari mimpimu hidup mandiri terlepas dari mertua, atau memang beliau tak punya harganya lagi di mata istri sehingga sang istri tak mau patuh dinasehati.
Pantas saja seseorang pernah berkata bahwa suamimu sudah gagal mendidik istri.
Pingback: “Hanya keledai yang bisa jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama” (2) | This is My Life
Pingback: ending…eng ing eng….end-ing-eng…. | This is My Life